Senin, 28 Desember 2015

MUSEUM RONGGOWARSITO



MUSEUM RONGGOWARSITO :
INTERELASI DAN NILAI PENINGGALAN KEBUDAYAAN
ISLAM DAN JAWA

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI

Description: D:\Logo\Logo_uin_walisongo.png


Oleh :
Diah Ira Rahmawati    (133511024)



PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

Interelasi dan Nilai Peninggalan Kebudayaan Islam dan Jawa

Berikut ini akan diinterpretasikan nilai-nilai kebudayaan Islam dan Jawa dari segi arsitektur dari beberapa peninggalan budaya masyarakat Jawa, yakni:
1.    Interelasi kebudayaan Islam dan Jawa dari segi arsitektur
Sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni Jawa tulen maupun jenis bangunan lain seperti pada candi, makam, keraton dan lain-lain. Beberapa simbol termasuk arsitektur yang dihadirkan para Ulama’ pada awal Islam masuk di Pulau Jawa diwujudkan dalam bingkai budaya dan konsep Jawa yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Muslim Jawa dalam karya arsitektur. Berikut akan di dideskripsikan beberapa peninggalan budaya beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu:
a.    Menara Masjid Kudus
Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 meter. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. Dua puluh buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M.
Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian yaitu: 1) kaki, 2) badan, 3) puncak bangunan. menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Cirri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen.teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat padabagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru
b.    Sirap Atap Masjid Demak
Sirap Atap Masjid Demak adalah salah satu bangunan yang memiliki keunikan di dalamnya. Pada waktu dibangun atas Masjid Demak terbuat dari welit, kemudian pada tahun 1710 Paku Buana I memerintahkan untuk mengganti welit dengan sirap dari kayu. Dalam tradisi Jawa atap sirap hanya boleh digunakan pada atap-atap rumah para bangsawan. Sirap terbuat dari kayu jati tua yang lurus.
c.    Seni Hias Terakota
Seni Hias Terakota adalah salah satu kekayaan dan warisan budaya masyarakat Jawa Tengah yang tidak ternilai harganya. Keberadaannya sudah cukup lama dan telah memberi warna serta menghiasi kehidupan masyarakat, Seni Terakota terbuat dari tanah liat yang dibakar, beragam motif sulur. Seni pada masa Islam abad ke XV. Fungsinya ialah untuk hiasan bangunan.
2.    Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam peninggalan budaya Jawa
a.    Menara Masjid Kudus
Jika dicemarti secara seksama, bentuk dari menara masjid Kudus sangat mirip dengan candi. Ada elemen lain yang membuat bangunan berbentuk seperti candi itu menjadi bertambah unik, yaitu bagian kepala menara yang berbentuk atap tumpang atau tajuk dari kayu jati dengan empat saka guru yang menopangnya. Itu adalah atap khas rumah Jawa-Hindhu yang setelah diadaptasi oleh ajaran Islam mengandung makna Iman, Islam, dan Ihsan.
b.    Sirap Atap Masjid Demak
Masjid Agung Demak merupakan masjid bercorak Islam yang dibangun oleh para wali yang berjumlah Sembilan (walisongo) dalam waktu satu malam. Setiap bangunan yang terdapat dalam Masjud Agung Demak mempunyai nilai-nilai filososofis tersendiri. Salah satunya ialah keunikan pada bangunan atap dari Masjid Agung Demak tersebut.
Bagian atap dari Masjid Demak bersusun tiga Masjid Demak melambangkan orang yang beriman dimulai dari Mukmin, Muslim, dan Muhsin (iman), serta Islam dan ihsan. Juga melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf yang dari bawah ke atas melambangkan Syariat, Tarekat, dan Ma’rifat.
c.    Seni Hias Terakota
Terakota merupakan material yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Terakota mengandung nilai, makna, dan pengetahuan yang merupakan kearifan lokal yang harus diwariskan agar tidak hilang. Di dalam Islam, yaitu al-Qur’an yang mengajarkan hubungan sosial sesama makhluk dan lingkungan yang juga didasarkan pada aspek kearifan lokal.

KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM (Masa Hindu-Budha)



KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM
(Masa Hindu-Budha)
Makalah

Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: C:\Users\TOSHIBA\Downloads\Logo 3D UIN Walisongo (1).png
Oleh:
Nazilaturrohmah                    (133511016)
M. Riskon                              (133511018)
M. Faruq Irfanudin               (133511020)
Diah Ira Rahmawati              (133511024)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah kebudayaan Indonesia adalah kajian ilmiah terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan mempunyai jalan kebudayaan yang beraneka ragam bahkan dalam satu wilayah pulaupun terdapat perkembangan kebudayaan yang berbeda. Dalam perkembangan kebudayaan terdapat beberapa unsur kebudayaan.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, terutama di daerah Jawa yang dipengaruhi oleh unsur kebudayaan Hindu Budha. Terbukti dengan adanya peninggalan pra- sejarah berupa prasasti maupun relief atau candi yang tersebar di pulau jawa. Misalnya candi Borobudur, candi prambanan dan candi roro mendut. Hal ini tidak akan lepas dari pengaruh agama Hindu-Budha yang pernah berjaya pada masanya.
Keberadaan agama Hindu dan Budha di Jawa tidak hanya meninggalkan kebudayaan berupa arsitek bangunan, akan tetapi keyakinan juga berpengaruh dan berkembang di Jawa. Sampai saat ini masih menjadi budaya turun temurun bagi masyarakat yang sulit di rubah sebab sudah melekat dan menjadi kebiasaan orang Jawa.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai masuknya agama Hindu dan Budha di Jawa, serta kebudayaan yang di bawanya.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi:
1.    Apa pengertian Hindu, Budha, Budaya dan Kebudayaan?
2.    Bagaimana proses masuknya Hindu-Budha di Jawa?
3.    Bagaimana perkembangan Agama Hindu-Budha di Jawa?
4.    Bagaimana kebudayaan masa Hindu-Budha di Jawa?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hindu, Budha, Budaya, dan Kebudayaan
1.    Hindu
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya subbenua India, yang dalam bahasa Inggris disebut Indus. Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah 'hindu' muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal di seberang sungai Sindu. Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari) artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya tanpa memandang strata, kasta, atau sekte seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.[1]
2.    Budha
Agama Buddha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta dan Pali). Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum Era Umum). Dia dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri ketidaktahuan/kebodohan (avidyā), kehausan/napsu rendah (ta), dan penderitaan (dukkha), dengan menyadari sebab musabab saling bergantungan dan sunyatam dan mencapai Nirvana (Pali: Nibbana).[2]
3.    Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[3]
Budaya menurut kamus besar bahasa indonesia dapat diartikan sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
4.    Kebudayaan
Sedangkan kebudayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
B.     Proses Masuknya Agama Hindu-Budha di Jawa
Asal mula Agama budha berawal dari berita fa hien, yaitu  seorang buddhis, pada tahun 414 terpaksa harus berlabuh di jawa dalam perjalanannya dari Langka ke Cina karena angin ribut. Dia berada di jawa selama 15 bulan, dan memberitakan bahwa di jawa banyak ajaran bidat golongan brahmana. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud ajaran bidat golongan brahmana adalah agama hindu. Keadaan ini berlangsung selama 5 abad.[4]
Setelah 5 abad, keadaan berubah,agama budha mulai memasuki indonesia  pada akhir abad ke 17, hal ini dapat dibuktikan dengan berita dariI tsing yang menceritakan di dalam bukunya yang ditulisnya di sumatra , bahwa pada tahun 664/665 ada seorang musafir cina bernama hwui ning yang bergi ke jawa selama 3 tahun. Di bawah seorang guru jnanabhadra, ia menerjemahkan suatu naskah tentang masuknya budha ke nirwana serta pembakaran tubuhnya ke dalam bahasa cina. I-tsing menerjemahkan naskah dalam keadaan menyimpang dari Naskah yang dipakai dari Mahayana.
Dari kedua berita di atas dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Sriwijaya (Palembang) menjadi pusat agama Budha, disana terdapat suatu Perguruan Tinggi Buddha. Ada lebih dari 1000 Biksu yang ajaran dan cara kerjanya sama dengan mereka yang ada di india.
Selain dari berita berita di atas, terdapat juga bukti berupa prasasti atau peninggalan masuknya agama budha , Diantaranya yang terdapat di kerajaan sailendra afama. Raja dan rakyatnya memeluk agama afama budha mahayana, sekalipun agaknya secara intensif aganma ini hanya dipelihara oleh kalangan atas, yaitu kalangan istana dan para pujangga yang berhubungan erat dengan istana. Hal ini dapat diperkirakan dengan banyaknya candi candi budha di jawa tengah seperti candi borobudur, candi mendut.[5]
Sedangkan Agama Hindu juga meninggalkan beberapa prasasti dan candi yang menunjukan bukti bahwa agama Hindu telah masuk di Indonesia terutama di wilayah Jawa Tengah. Agama Hindu berkembang dari kalangan atasan hingga kalangan rakyat jelata. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya candi candi siwa yang tersebar hingga di pelosok pelosok desa. Hal ini disebabkan karena agama hindu lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan pribumi dari pada agama budha. Bukti dari peninggalan agama hindu adalah adanya candi prambanan yang didirikan pada pertengahan abad ke 9 ketika raja mataram berkuasa di jawa tengah.[6]
C.    Perkembangan Agama Hindu-Budha di Jawa
1. Perkembangan Agama Hindu-Budha di Jawa antara Abad ke 8-10 M
a. Perkembangan agama Hindu
Berita tentang perkembangan agama baru didapatkan dalam uraian prasasti Cangal (tahun 732 M). Sebenarnya secara samar dapat diketahui telah ada pemuliaan terhadap Dewa-dewa Hindu Trimurti lewat prasasti Tuk Mas (tahun 700M). Dalam prasasti Tuk Mas dinyatakan bahwa terdapat mata air yang airnya jernih dan dapat menghapus noda dan dosa seperti halnya air sungai Gangga. Selain itu, digambarkan berbagai benda-benda (laksana) yang biasa dipegang dewa-dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Syiwa).[7] Dengan demikian, ditafsirkan bahwa Hindu Trimurti telah dikenal oleh penduduk Jawa Kuno masa itu.
Prasasti Cangal yang ditemukan di Bukit Gunung Wukir, justru lebih jelas mengemukakan adanya pemujaan terhadap Trimurti, dengan mengutamakan terhadap pemujaan kepada Syiwa Mahadewa. Sedangkan di Jawa Timur ditemukan pula dalam Prasasti Dinoyo (760 M) dinyatakan bahwa Raja Gajayana atau Limwa adalah pengganti Raja Dewashima. Gajayana mendirikan bangunan suci pemujaan bagi Agatsya (salah satu murid utama Syiwa). Hal tersebut menegaskan bahwa perkembangan agama Hindu Trimurti terutama yang memuja Syiwa secara bersamaan berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekitar awal abad ke-8 M. Tidak hanya itu, Hindu Saiva juga berkembang di wilayah tersebut.
Pada candi-candi Hindu Saiva terdapat keteraturan penempatan arca-arca Dewa direlung-relung dinding luarnya, dan menghadap ke timur. Penempatan arca-arca tersebut yakni: (1) relung kanan pintu: arca Nandisvara, (2) relung kiri: arca Mahakala, (3) relung utara: arca Durga Mahisasuramardini, (4) relung barat: arca Ganesha, (5) relung selatan: arca Agatya. Adapun objek sakral yang mengisi bilik candi adalah arca Syiwa Mahadewa.[8] Melalui temuan arcanya, diketahui bahwa para pemeluk Hindu di wilayah Jawa tidak hanya memuliakan Trimurti, namun mereka juga memuja arca-arca dewata Hindu lainnya, seperti Dewi Parwati, Sri/Laksmi, Dewa Surya Chandra, Karttikeya, avatara-avatara Wisnu, dan juga dewa Lokapala lainnya baik yang berwujud arca batu ataupun logam.
b. Perkembangan agama Budha
Untuk perkembangan agama Budha di wilayah Jawa Tengah berdasarkan berita dari prasasti Kalasan, diuraian adanya pemujaan terhadap sakti Budha, yaitu Tara dan didirikan bangunan suci khusus untuk memujanya dinamakan Tarabhavanam atau Candi Kalasan sekarang. Antara pertengahan abad ke-8 sampai ke-10, agama Budha Mahayana berkembang pesat di Jawa Tengah. Banyak candi yang didirikan untuk memuliakan Panca Tathagata dan Dhyani Bhoddhisattva. Sebagaimana pada Candi Borobudur,  Panca Tathagata merupakan dewata yang dimuliakan, digambarkan kelima wujud Tathagata dan peletakannya sesuai dengan arah mata angin. Terdapat pula ritus keagamaan yang bermula dari Candi Mendut, menuju Candi Pawon, dan puncaknya berlangsung di Stupa Agung Borobudur. Masih terdapat banyak candi-candi lainnya yang menjadi ritus keagamaan saat itu.
Candi-candi penting lainnya yang bernapaskan Budha Mahayana adalah Candi Sari, Plaosan Lor, Lumbung, Sajiwan, dan Banyunibo. Dalam periode yang hampir bersamaan, di wilayah Jawa Tengah disusun pula kitab Jawa Kuno yaitu Sanghyang Kamahayanikan (SHK), yang memuat tentang kesesuaian arsitektur, relief, dan juga arca-arca di Candi Borobudur. Terdapat pula uraian tentang visualisasi dari ajaran Yogacara, yakni suatu prinsip yang menonjolkan praktik yoga demi memperoleh pengetahuan tertinggi yang merupakan pembuka jalan untuk mencapai keBudhaan.[9] Selain candi, terdapat pula goa yang dipergunakan para bhiksu dan kaum agamawan budha lainnya untuk melakukan meditasi.
Perkembangan agama Budha selanjutnya hingga masa kerajaan Kediri dan Panjalu masih belum diketahui secara baik, karena sumber-sumber yang terbatas. Selanjutnya, data-data peninggalan agama Budha baru diperoleh kembali dalam zaman Singasari dan Majapahit.
2. Perkembangan Agama Hindu-Budha di Jawa antara Abad ke 11-15 M
Ketika pusat kerajaan berpindah ke wilayah jawa Timur, dengan sendirinya banyak candi Hindu yang dibangun di wiayah tersebut. Kehidupan keagamaan Hindu dan Budha dalam masa kerajaan Singasari (abad 13 M) dan Majapahit (abad 14-15 M) ditandai dengan adanya penyetaraan antara dewa tertinggi Hindu dan Panca Tathagata yang dikenal dalam agama Budha Mahayana. Beberapa ahli telah menyatakan adanya bukti-bukti tentang ‘sintesis’ kedua agama tersebut. Bukti tersebut dapat diketahui dari bangunan kegamaan yang bernapaskan Hindu namun ada perpaduan ajaran Budha, begitupun sebaliknya.
Kitab kuno yang dijadikan landasan interpretasi para Ahli tentang sintesis dua ajaran tadi yaitu kakawin Sutasoma. Menurut Soewito Santoso (1975), percampuran atau sintesis tidak terjadi secara menyeluruh, pada pelaksanaannya masih senantiasa merupakan dua agama yang terpisah. Kerapkali dalam sumber-sumber kitab lain disebutkan bahwa Budha dianggap lebih unggul dari Syiwa, terutama dalam kakawin Sutasoma.[10] Sedangkan menurut Haryati Soebadio, sintesis keagamaan itu disebut dengan koalisi, namun hanya berkenaan dengan prinsip tertinggi beserta manifestasi-manifestasinya. Adapun bangunan suci, pertapaan, tanah perdikan, dan umat pemeluk agama pada umumnya tetap merupakan dua hal yang dapat dibedakan.[11] Pada bahasan selanjutnya, akan dijelaskan mengenai kebudayaan Jawa pada masa Hindu-Budha.
D.    Kebudayaan Hindu-Budha di Jawa
Pada masa niagawan datang dari India dan Cina, yang berlayar ke tepi-tepi pantai kepulauan Indonesia untuk melakukan interaksi dengan penduduk pribumi, secara teoretis telah terjadi kontak budaya antara para pendatang dari India dan Cina dengan penduduk pribumi Nusantara, namun dalam tahap selanjutnya justru yang banyak diterima oleh penduduk Nusantara adalah unsur-unsur dari kebudayaan India. Bukti-bukti awal tidak menunjukkan adanya pe ngaruh unsur kebudayaan Cina dalam masa perkembangan sejarah di kepulauan Indonesia.
Terdapat tiga hal yang benar-benar “barang baru” yang berasal dari kebudayaan India. Tiga hal tersebut yaitu:
1.      Agama Hindu-Budha
2.      Aksara Pallava
3.      Sistem penghitungan tahun (kalender): Saka
Agama Hindu-Budha merupakan hal yang baru, semula dalam bidang religi penduduk kepulauan Nusantara sangat mungkin melaksanakan ritual pemujaan terhadap arwah leluhur. Beberapa peninggalan monumen menganalitik di beberapa tempat di Indonesia dapat dihubungkan dengan aktivitas terhadap pemuliaan arwah leluhur. Dengan datangfnya agama Hindu-Budha, maka terdapat ajaran religi baru yang telah menarik penduduk pribumi di beberapa wilayah untuk memeluknya. Dalam perkembangan selanjutnya memang terdapat bukti-bukti yang mengarah kepata tafsiran adaya upaya memadukan ajaran Hindu-Budha dengan kepercayaan yang tlah dikenal sebelumnya dalam masa prasejarah.
Nenek moyang bangsa Indonesia awalnya mengenal tulisan adalah berkat masuknya anasir kebudayaan India. Aksara yang pertama kali dipergunakan untuk menuangkan informasi dalam bentuk tertulis adalah Pallava.
Adapun sistem penghitungan tahun dengan kalender saka semula waktu demi waktu berlalu dan berganti begitu saja tanpa ada upaya untuk menandainya, maka setelah dikenal sistem penghitungan tahun Saka terdapat kepandaian lain lagi, yaitu menghitung dan memcantumkan tahun-tahun dalam informasi tertulis.
Ketiga hal baru tersebut sebagai pemicu gerak perkembangan kebudayaan selanjutnya di beberapa wilayah Indonesia. Ketiganya kemudian mengemb angkan aspek kebudayaan lainnya seperti pemerintah kerajaan, pengembangan karya arsitektur, pengubahan karya sastra, dsb. Dsalam masa pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan yang bercorak Hindu-Budha itulah dasar kebudayaan Indonesia selanjutnya.[12]
Penyerapan kebudayaan Hindu-Budha dari India kemudian membawa penduduk negeri ini semakin masuk ke dalam wilayah pancaran kebudayaan India. Tercatat di Sumatera selatan Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan pantai dengan pengaruh yang cukup besar. Kerajaan ini menganut ajaran Budhisme Hinayana dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-7M. Sanjaya, raja Mataram, di wilayah Yogyakarta sekarang, menguasai seluruh Jawa Tengah pada permulaan abad ke-8 M. Raja ini menganut agama Syiwa dan dia berhasil membangun kompleks candi Syiwa di dataran tinggi Dieng.
Kekuasaan Sanjaya hilang, muncul Dinasti Syailendra yang berkuasa kurang lebih selama 60 tahun di sebelah barat Yogyakarta, tepatnya di daerah Magelang. Peninggalan paling bersejarah Dinasti Syailendra adalah candi Borobudur. Candi ini dibangun menurut tradisi Jawa Kuno sebagai candi yang berteras dan melambangkan alam raya. Teras-teras paling bawah dihiasi dengan ukiran-ukiran dari alam kepercayaan Budhisme Mahayana. Di teras-teras berikutnya, hingga ke teras paling tinngi, orang akan diajak masuk ke wilayah yang tanpa gambar yang melambangkan pencapaian terang batin dan suasana kebudhaan.
Diperkirakan pada akhir abad 8 M, atau awal abad 9 M, penguasa Jawa Tengah yang menamakan diri raja Mataram menganut agama Siwa. Peninggalan terbesar atas kepenganutan agama mereka adalah kompleks candi Lorojonggrang di daerah Prambanan, sebelah timur Yogyakarta. Bangunan candi Lorojonggrang terdiri dari tiga bangunan candi utama yang diperuntukkan bagi dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu. Ukiran-ukiran candi Syiwa diambil dari kisah Ramayana, sedangkan candi Lorojonggrang dimaksudkan sebagai tempat pemakaman bagi raja-raja Mataram. Fungsi candi itu adalah sebagai pemakaman dan candi kerajaan, yang menandakan kekhasan Hinduisme dan Budhisme yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan Jawa saat itu.
Pada dasarnya budaya di masa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa Hindu-Budha semenjak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara, tradisi yang sebagian masih dapat dilihat keberadaannya sampai saat ini. Upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini, Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya. Sedangkan dalam agama Budha adalah sebuah agama dan filsafat yang berasal dari anak benua India dan meliputi beragam tradisi kepercayaan, dan praktik yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan kebudayaan mencakup keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Disimpulkan bahwa pada waktu itu Sriwijaya (Palembang) menjadi pusat agama budha, disana terdapat suatu Perguruan Tinggi Buddha. Sedangkan agama Hindu berkembang dari kalangan Bangsawan hingga kalangan rakyat jelata. Agama Hindu berkembang dari kalangan atasan hingga kalangan rakyat jelata. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya candi-candi Syiwa yang tersebar hingga di pelosok pelosok desa. Kebudayaan di Jawa pra Islam mencakup tiga hal yakni: Agama Hindu-Budha, Aksara Pallava, dan Sistem penghitungan tahun (kalender): Saka.
B.     Saran
Dengan adanya makalah tentang kebudayaan Jawa pra Islam ini, diharapkan pembaca dapat lebih memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam dan Budaya Jawa yang pernah berlangsung.
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA


Hadiwijoyono, Harun. 1994. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia.
Munandar, Agus Aris, I Made Supartha, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Paeni, Mukhlis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah. Jakarta: Rajawali Pers.
Shodiq. 2002. Potret Islam Jawa. Semarang: Pustaka Zaman.                  
Anonim. Pengertian Agama Budha. https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, diakses pada 29 September 2015.
Anonim. Pengertian Agama Hindu. https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu, diakses pada 29 September 2015.
Anonim. Pengertian Budaya. https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses pada 29 September 2015.



[1] Anonim,Pengertian Agama Hindu, https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu, diakses pada 29 September 2015, pukul 11.00
[2] Anonim,Pengertian Agama Budha, https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, diakses pada 29 September 2015, pukul 11.00
[3] Anonim,Pengertian Budaya, https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, diakses pada 29 September 2015, pukul 11.16
[4] Harun Hadiwijoyono, Agama Hindu dan Budha, (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 1994), hlm.99.
[5] Harun Hadiwijoyono, Agama Hindu dan Budha, ... hlm.102
[6] Harun Hadiwijoyono, Agama Hindu dan Budha, ... hlm.107
[7] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 40.
[8] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, ... hlm. 47
[9] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, hlm. 42-44.
[10] Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang: Pustaka Zaman, 2002), hlm. 15.                         
[11] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, ...  hlm. 50.
[12] Agus Aris Munandar, I Made Supartha, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2009), hlm. 33-37