TRADISI
APITAN
SEBAGAI
MANIFESTASI RASA SYUKUR
MELALUI
SEDEKAH BUMI MASYARAKAT BUMIREJO
Mini Riset
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI
Oleh :
Diah Ira Rahmawati (133511024)
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian
Masyarakat Jawa memang terkenal dengan beragam jenis
tradisi atau budaya yang ada di dalamnya. Baik tradisi kultural yang semuanya
ada dalam tradisi atau budaya Jawa tanpa terkecuali. Dari beragam macamnya
tradisi yang ada di masyarakat Jawa, hingga sangat sulit untuk mendeteksi serta
menjelaskan secara rinci terkait dengan jumlah tradisi atau kebudayaan yang ada
dalam masyarakat Jawa tersebut.
Demak adalah salah satu kota yang menjadi bagian dari
provinsi Jawa Tengah dan dahulunya menjadi pusat peradaban dan pemerintahan di
Jawa Tengah, khususnya di masa kejayaan Islam. Di sana, mayoritas masyarakatnya
masih melestarikan budaya-budaya warisan nenek moyang seperti tradisi Apitan yang dibarengi dengan sedekah bumi. Tradisi tersebut hanya
dilakukan pada bulan Apit atau bulan Dzulqo’dah. Pada karya tulis ilmiah ini,
penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai makna atau esensi dari tradisi Apitan melalui sedekah bumi yang
dilaksanakan di desa Bumirejo tersebut.
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan
dilakukannya penelitian ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui makna
dari tradisi Apitan (sedekah bumi)
2.
Untuk mengetahui latar belakang adanya tradisi sedekah bumi
3.
Untuk mengetahui proses atau tata cara pelaksanaan dari tradisi sedekah bumi
C.
Manfaat Penelitian
Manfaat
dari adanya penelitian ini meliputi sebagai berikut:
1.
Dapat mengetahui makna dari tradisi Apitan
(sedekah bumi)
2.
Dapat mengetahui latar belakang adanya tradisi sedekah bumi tersebut
3.
Dapat mengetahui proses atau tata cara pelaksanaan dari tradisi sedekah bumi tersebut
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang telah dilakukan
sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,
biasanya dari suatu wilayah, negara, kebudayaan, golongan/ agama yang sama. Hal
yang paling mendasar dari tradisi yaitu adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu
tradisi akan punah.[1]
Tradisi sedekah bumi merupakan suatu upacara adat
yang melambangkan rasa syukur manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rezeki melalui tanah/bumi berupa segala bentuk hasil bumi. Di sisi
lain sedekah bumi juga dapat dijadikan tolok ukur sejauh mana masyarakat
mengamalkan ajaran agamanya (Islam), yakni melalui adanya pembacaan kalimat thayyibah yang banyak di petik dari
ayat-ayat suci al-Qur’an. Ritual sedekah bumi merupakan bagian dari budaya yang
berusia ratusan tahun. Tujuan dari sedekah bumi adalah memberikan persembahan
dan penghormatan yang berupa sajian hasil bumi yang ditunjukkan kepada Dzat
Yang Maha Pencipta yang telah menjaga bumi pertiwi yang ditempati dalam keadaan
aman, tentram, sejahtera dan jauh dari segala macam masalah. Serta diadakan
karena ingin mengungkapkan rasa syukur atas riski yang diberikan. Dalam
pelaksanaannya pembuatan nasi tumpeng, ambengan,
dan ingkung merupakan syarat yang
harus ada pada ritual tersebut. Puncak ritual
Sedekah Bumi diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh ketua adat atau pimpinan
agama.[2]
BAB III
KONDISI
LAPANGAN
Dalam penelitian ini, penulis mengambil judul “Tradisi Apitan sebagai Manifestasi Rasa Syukur melalui Sedekah
Bumi Masyarakat Bumirejo”. Penelitian tersebut dilakukan di Dukuh Lerep,
Desa Bumirejo RT 03/06 Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak pada tanggal 30
September 2015 (Selamatan dan Pagelaran Wayang) serta 25 Desember 2015
(wawancara dengan Ketua Adat). Masyarakat yang bermukim di desa tersebut mayoritas
menganut ajaran Islam.
Masyarakat di desa tersebut masih tergolong tradisional,
karena sampai sekarang mereka masih melestarikan tradisi-tradisi nenek moyang, sistem
kepercayaan yang sejak dahulu ada tentunya telah disesuaikan dengan ajaran
Islam, dan sampai sekarang mereka masih melestarikan budaya-budaya peninggalan
nenek moyang seperti adanya tradisi mapati,
mitoni, selametan, mudhun lemah dan lain-lain termasuk sedekah bumi. Namun pada kenyataannya tidak semua lapisan
masyarakat di desa tersebut mengetahui makna atau arti dari tradisi sedekah bumi tersebut.
BAB
IV
ANALISIS
LAPANGAN
Masyarakat di Demak atau lebih tepatnya di desa
Bumirejo adalah masyarakat yang masih tergolong tradisional dan belum bisa
dikatakan sebagai masyarakat modern. Namun tidak semua tradisi yang diwariskan
oleh pendahulu-pendahulu mereka laksanakan, dan bukan berarti meninggalkan
tradisi yang berlaku di desa tersebut. Meskipun ada beberapa tradisi yang sengaja
ditinggalkan karena dinilai bertenangan dengan ajaran islam, contohnya sesaji
dan nyadran di punden dukuh Lerep. Namun, ada tradisi yang hingga sekarang
masih tetap dilestarikan setiap tahunnya yaitu Sedekah Bumi yang dilaksanakan pada bulan Apit, tepatnya pada hari minggu kliwon, sehingga masyarakat biasa
menyebut ritual sedekah bumi ini dengan istilah ‘Apitan’.
Sedangkan dinamakan sedekah bumi karena pada tradisi
ini seluruh masyarakat khususnya para petani di dukuh Bumirejo Lerep memberikan
persembahan berupa hasil Bumi yakni hasil panen mereka sebagai perwujudan rasa
syukur mereka kepada Allah SWT.
Makna sedekah sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu
‘shodaqoh’ yang berarti suatu
pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara sukarela
tanpa dibatasi oleh waktu dan ruang tertentu, dengan mengharap Ridha Allah SWT.
Bersedekah juga sangat dianjurkan dalam ajaran Islam sebagaimana firman Allah
SWT Qs. An-Nisa’ ayat 114 berikut:
* w uöyz Îû 9ÏV2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R wÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) ú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿt Ï9ºs uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã ÇÊÊÍÈ
“Tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau
Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar.”
Apitan atau sedekah bumi dahulunya merupakan
selamatan yang ditujukan dalam rangka untuk mensyukuri hasil panen dan limpahan
nikmat yang Allah SWT berikan, supaya masyarakat dilingkupi keselamatan, mendapatkan
panen yang melimpah dan berkah serta agar dijauhkan dari bala’.
Sedekah bumi di bulan Apit ini dilaksanakan dengan cara selamatan setiap satu tahun
sekali. Dan untuk pertunjukan wayangnya biasanya rutin dua tahun sekali.
Biasanya masyarakat sekitar membuat nasi
ambengan dan ketua adat dukuh Bumirejo Lerep meminta agar yang memiliki
mobil bisa menyiapkan ingkung. Makna
dua makanan khas yang harus ada dalam selamatan sedekah bumi ini yaitu: ambengan melambangkan perwujudan dari
hasil panen yang diperoleh, baik dari nasi, maupun lauk pauk yang beranekaragam
yang disajikan dalam satu wadah. Sedangkan Ingkung
dahulunya memiliki maksud yakni bentuk penyerahan jiwa raga seorang manusia
secara utuh (menyeluruh) kepada sang Khalik, melambangkan bayi yang belum
dilahirkan dengan demikian belum mempunyai kesalahan apa-apa atau masih suci. Ingkung merupakan ubo rampe yang berupa ayam kampung yang diolah sedemikian rupa
(dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam) yang kemudian
disajikan dengan bentuk yang masih utuh pula.
Sajian hidangan yang lainnya seperti minuman,
buah-buahan, dan lauk pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi
prioritas yang utama. Dan pada akhir acara, nantinya para petani biasanya
menyisakan nasi, kepala, dan ceker ayam yang ketiganya dibungkus dan diletakkan
di sudut-sudut petak sawah. Masing-masing sebagai simbol rasa syukur.
Puncak ritual Sedekah Bumi diakhiri dengan doa yang
dipimpin oleh ketua adat, Kiai atau Mudin.
Lantunan doa tersebut merupakan kolaborasi antara kalimat-kalimat Jawa dan
lafal-lafal doa yang bernuansa Islami, juga merupakan simbol penghormatan
manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Menurut anggapan
masyarakat Jawa, dengan menggelar ritual ini konon tanah tidak akan marah,
seperti terjadinya longsor, banjir maupun bencana yang lainnya. Adapun makna ‘essensial’ dari ritual Sedekah Bumi
yaitu agar manusia merenungkan kembali amanat dari Allah SWT terhadap tugas
mereka sebagai Khalifah fil Ardhli
yakni: untuk menjaga, melestarikan dan tidak merusak bumi sedikitpun, karena
niscaya alam juga akan bersahabat dengan manusia.
Kemudian, setelah acara selamatan mulai ba’da dzuhur sampai setengah lima,
kemudian jam 9 malam sampai jam 4 pagi dilangsungkan pagelaran wayang kulit.
Media wayang kulit dipilih karena selain dapat dipakai sebagai hiburan, wayang
bisa dimanfaatkan sebagai sarana dakwah Islam, sebagaimana yang dicontohkan
sunan Kalijaga dahulu. Selain itu dalam rangka melestarikan budaya leluhur agar
tidak punah dan tetap dikenal oleh para pemuda di dukuh Bumirejo Lerep. Dan
konon, dahulu tokoh yang pertama kali mendiami dukuh Bumirejo Lerep (Mbah
Narasuta ingkang Bubhakyasa dukuh Lerep) sangat menyukai wayang kulit. Kisah dalam
pertunjukan wayangnya disesuaikan dengan permintaan sesepuh, dan biasanya
selalu berisi petuah-petuah yang dapat dijadikan bekal bagi kehidupan.
Dalam pertunjukan wayang tersebut syarat dengan
nilai moral kehidupan dan layak dijadikan sebagai keteladanan hidup.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pewayangan selalu mengajak manusia untuk
berbuat baik dan menghindari kejahatan serta menanamkan semangat amar ma’ruf nahi munkar kepada manusia.
Kesan dan pesan yang terkandung dalam ajaran atau pagelaran wayang kulit penuh
dengan nilai-nilai edukatif. Dengan demikian, pertunjukkan wayang tidak hanya
sebagai tontonan dan alat penghibur saja, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan
bagi manusia.
Dana untuk melangsungkan pagelaran wayang dalam
tradisi Apitan tersebut diperoleh
dari anggaran wajib yang harus dikeluarkan setiap KK sejumlah Rp. 30.000,00
persil, jadi semisal ada tambahan sawah atau tanah selain yang ditempati, warga
membayar lagi sejumlah uang yang telah dikalikan Rp. 30.000,00. Di tahun ini,
bagi warga yang memiliki kendaraan mobil diwajibkan untuk membawa ingkung saat
selamatan, sebagaimana jaman dahulu hal ini diberlakukan bagi siapa saja yang
memiliki sapi atau kerbau.
Tradisi Sedekah Bumi atau Apitan ini telah berlangsung sejak lama, bahkan telah berusia
puluhan tahun. Menurut keterangan ketua adat, yakni beliau Bapak Mat Shokib,
pelaksanaan ritual sedekah bumi ini dapat mempererat kerukunan serta persatuan
dan kesatuan masyarakat dukuh Bumirejo Lerep, dan sebagai bentuk pelestarian
budaya leluhur agar tidak punah di tengah-tengah kemajuan zaman.
BAB
V
KESIMPULAN
Ritual sedekah bumi merupakan salah
satu rutinitas bagi masyarakat Bumirejo yang merupakan simbol penghormatan
manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan. Sedekah bumi bisa tetap
dilaksanakan asal maksudnya adalah bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
telah menciptakan bumi, memberikan rezeki melalui tanah/bumi berupa segala
bentuk hasil bumi, dan segala karunia yang telah Allah SWT limpahkan untuk
manusia. Selain itu, juga untuk melestarikan budaya yang telah turun-temurun
diwariskan kepada kita.
Dalam proses pelaksanaan ritual sedekah
bumi, hingga kini dapat disaksikan bahwa pengaruh kebudayaan Hindu ternyata
masih melekat pada masyarakat Islam, khususnya ritual sedekah bumi/Apitan di dukuh Bumirejo Lerep. Hal ini
karena wujud dan kuatnya kepercayaan masyarakat dalam memegang teguh
adat-istiadat yang telah diwariskan dari nenek moyang mereka. Ritual sedekah
bumi di berbagai wilayah memiliki ciri yang berbeda-beda dalam prosesi ataupun
media yang dipilih, namun esensi dari ritual ini tetaplah sama yakni sebagai
perwujudan rasa syukur masyarakat kepada Sang Khalik.
TRANSKIP
WAWANCARA
Wawancara ini dilakukan dengan Ketua Adat (Bekel) Dukuh Lerep, Desa Bumirejo yaitu
Bapak Mat Shokib pada hari Jum’at, 25 Desember 2015. Hasil dari wawancara
tersebut adalah sebagai berikut:
A
: Diah Ira Rahmawati
B
: Mat Shokib (Narasumber)
A : Di desa Bumirejo ada tradisi yang disebut
Apitan/ Sedekah Bumi. Mengapa disebut demikian, dan apa makna tradisi sedekah
bumi tersebut?
B : Sebenarnya kenapa disebut Apitan, karena tradisi sedekah bumi dilaksanakan pada bulan Apit
yaitu bulan Dzulqo’dah kalau dalam Islam. Sedangkan dinamakan sedekah bumi
karena pada tradisi ini seluruh masyarakat khususnya para petani di dukuh
Bumirejo Lerep memberikan persembahan berupa hasil Bumi yakni hasil panen mereka
sebagai perwujudan rasa syukur mereka kepada Allah SWT. Bersedekah juga sangat
dianjurkan dalam ajaran Islam sebagaimana firman Allah SWT di dalam al-Qur’an.
A
: Bagaimana asal muasal tradisi apitan di dukuh Bumirejo Lerep?
B : Apitan atau sedekah bumi dahulunya merupakan
selamatan yang ditujukan dalam rangka untuk mensyukuri hasil panen dan limpahan
nikmat yang Allah SWT berikan, supaya masyarakat dilingkupi keselamatan, dan
dijauhkan dari bala’.
A : Dalam kurun berapa tahun tradisi sedekah bumi (Apitan) itu dilaksanakan?
B : Untuk selamatan sedekah bumi dilaksanakan rutin
setiap satu tahun sekali, yaitu pada bulan Apit, untuk harinya bebas di hari
apapun, namun diutamakan hari minggu kliwon. Akan tetapi untuk acara pertunjukan
wayangnya biasanya 2 tahun sekali.
A : Kalau dahulu ada persembahan berupa
ingkung/tumpeng atau biasa disebut sesajen, yang diletakkan di punden desa,
bagaimana menurut pendapat bapak?
B : Hal tersebut dinilai sangat tidak sesuai dengan
Islam, karena bila tradisi tersebut tetap dilaksanakan dikhawatirkan masyarakat
akan terjerumus pada syirik, meskipun tradisi nyadran tersebut merupakan bagian
dari warisan leluhur namun pada pemerintahan saya, tradisi ini saya hapuskan.
Karena dinilai tidak sesuai.
A : Bagaimana
teknis penarikan jumlah hasil bumi untuk disedekahkan warga?
B : Untuk jumlah yang harus dikeluarkan setiap KK,
yakni wajib mengeluarkan uang sejumlah Rp. 30.000,00 persil, jadi semisal ada
tambahan sawah atau tanah selain yang ditempati membayar lagi sejumlah
dikalikan Rp. 30.000. Kalau tahun ini, bagi warga yang memiliki kendaraan mobil
diwajibkan untuk membawa ingkung saat selamatan, kalau jaman dahulu hal ini
diberlakukan bagi siapa saja yang memiliki sapi atau kerbau.
A : Kenapa media yang dipakai untuk tradisi Apitan adalah wayang kulit?
B : Wayang kulit selain dipakai sebagai hiburan,
bisa dimanfaatkan sebagai sarana dakwah Islam, sebagaimana yang dicontohkan
sunan Kalijaga dulu, selain itu dalam rangka melestarikan budaya leluhur agar
tidak punah dan tetap dikenal oleh para pemuda di dukuh Bumirejo Lerep. Dan
konon, dahulu tokoh yang pertama kali mendiami dukuh Bumirejo Lerep (Mbah
Narasuta ingkang Bubhakyasa dukuh Lerep) sangat menyukai wayang kulit.
A : Apa yang dikisahkan dalam pertunjukan wayang
tersebut?
B : Kisah dalam pertunjukan wayangnya disesuaikan
dengan permintaan sesepuh, dan biasanya selalu berisi petuah-petuah yang dapat
dijadikan bekal bagi kehidupan.
A : Sudah
berapa lama tradisi Apitan/ Sedekah
Bumi ini dilangsungkan?
B : Tradisi
ini sudah sangat lama, bahkan saya sudah menemui sejak saya masih kecil. Bisa
jadi sudah ada puluhan tahun lamanya.
BIODATA
MAHASISWA
Nama : Diah Ira
Rahmawati
NIM : 133511024
Kelas : PM-5A
TTL : Demak, 13 Januari 1996
Alamat : Dukuh Lerep
RT 03/06 Desa Bumirejo, Kecamatan
Karangawen, Kabupaten Demak
No.
Telp. : 085728226482
Pendidikan :
SD N 02 Bumirejo
Mts N Karangawen
MAN 01 Semarang
Sekarang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Walisongo Semarang.
LAMPIRAN
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Nihaya, Tradisi Jawa, (http://nihayachedta.blogspot.com/2011/04/tradisi-jawa),
diakses pada 20 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
[2]
Ardan, Tradisi Sedekah Bumi, (http://www.kompasiana.com/2013/11/tradisi-sedekah-bumi),
diakses pada 20 Desember 2015 pukul 10:22 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar